pernyataan mungil tentang kemerdekaan menjadi berbeda

Selasa, 13 Oktober 2009

Tikungan dan mereka yang menikung

Malam itu bersama bapak supirku yang selalu tengil. Di perempatan dengan hiasan warung-warung kecil di tepian. Dan serentak sepeda motor matic Mio meluncur dari kanan memotong jalan, dan tersenggol, dan jatuh.

Pengendaranya dua gadis belia yang membawa galon kosong, mereka tampak panik sendiri.

Beberapa pria pun datang menggerombol. Saksi mata dan yang merasa sebagai saksi mata pun berkicau. Pada awalnya seorang pria mengizinkan kami lenyap pergi karena memang kesalahan dari pengendara motor ini, yang salah satunya (ada oknum yang bilang) adalah anak pak lurah setempat. Namun tiba-tiba semua berubah menjadi tidak jelas ketika versi lain muncul, dan preman-preman pun berkreatifitas dengan menyuarakan alternatif kejadian yang semakin tidak masuk akal. Pertempuran yang mengandalkan kelincahan bibir pun sedemikian gencarnya sampai akhirnya semuanya bingung mau kemana kah arah pertempuran ini.

Akhir cerita, mereka tidak berhasil mengeruk pundi-pundi rupiah dari kantong ku. Aku menang. Dan aku tetap sebal.

Sebuah pemikiran tentang ketidakadilan. Seakan-akan norma jalanan berujar : Pemilik mobil selalu salah dan pemilik sepeda motor selalu benar. Diskriminasi urban yang sangat pahit mengingat bagaimana ugal-ugalannya pengendara sepeda motor di ibukota kita ini. Kenapa kita tidak buka mata selebar-lebarnya dan menelaah kebenaran sebenar-benarnya?

Aku tidak akan berteriak tentang diskriminasi urban ini. Karena malu dengan mereka yang berteriak tentang diskriminasi gender, ras, ataupun orientasi seksual yang lebih hakiki. Tapi aku hanya percaya bahwa diskriminasi (apapun itu bentuknya) tidak seharusnya ada, dan aku memulainya dengan tidak melakukannya.



2 komentar: